PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Persoalan
permukiman merupakan masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan
terjadinya kantong-kantong kemiskinan yang fatal dan kemudian menyebabkan
lahirnya berbagai persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah
kota untuk menangani dan mengawasinya. Permukiman kumuh merupakan salah satu
masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan
program dilakukan untuk mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman
masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan
ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya yaitu,
pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan pinggir jalan
sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan
jalanan kota. Masyarakat miskin di perkotaan itu unik dengan berbagai
problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan
solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah
kemauan mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota namun karena
faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa menjadi ancaman
bagi eksistensi kota yang mensejahterahkan.
Keluhan yang paling
sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah
rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti
disingkirkan. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum
area sering dipandang
potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan.
Faktor-faktor Terbentuknya Permukiman Kumuh
Adapun timbulnya kawasan kumuh menurut Hari Srinivas (2003)
dapat dikelompokan sebagai berikut:
- Faktor
internal: Faktor budaya, agama, tempat bekerja, tempat lahir, lama
tinggal, investasi rumah, jenis bangunan rumah.
- Faktor
eksternal: Kepemilikan tanah, kebijakan pemerintah
Penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh menurut Khomarudin
(1997) antara lain adalah :
- Urbanisasi
dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat, berpenghasilan
rendah,
- Sulit
mencari pekerjaan,
- Sulitnya
mencicil atau menyewa rumah,
- Kurang
tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,
- Perbaikan
lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta
- Disiplin
warga yang rendah.
- Kota
sebagai pusat perdagangan yang menarik bagi para pengusaha,
- Semakin
sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.
PEMBAHASAN
1. Masalah-masalah yang Timbul Akibat Permukiman Kumuh
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai
dampak. Dampak sosial, dimana sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat
berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah dianggap
sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial.
Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan,
karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti
kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Dampak langsung dari adanya permukiman kumuh dalam hal keruangan
yaitu adanya penurunan kualitas lingkungan fisik maupun sosial permukiman yang
berakibat semakin rendahnya mutu lingkungan sebagai tempat tinggal (Yunus, 2000
dalam Gamal Rindarjono, 2010). Seperti halnya lingkungan permukiman kumuh yang
ada di Semarang memperlihatkan kondisi kualitas lingkungan yang semakin
menurun, secara umum hal ini dapat diamati berdasarkan hal sebagai berikut
(Gamal Rindarjono, 2010) : (1) Fasilitas umum yang kondisinya dari tahun ke
tahun semakin berkurang atau bahkan sudah tidak memadai lagi; (2) Sanitasi
lingkungan yang semakin menurun, hal ini dicerminkan dengan tingginya wabah
penyakit serta tingginya frekwensi wabah penyakit yang terjadi, umumnya adalah
DB (demam berdarah), diare, dart penyakit kulit; (3) Sifat extended
family (keluarga besar)pada sebagian besar pemukim permukiman kumuh
mengakibatkan dampak pada pemanfaatan ruang yang sangat semrawut di
dalam rumah, untuk menampung penambahan jumlah anggota keluarga maka dibuat penambahan-penambahan
ruang serta bangunan yang asal jadi, akibatnya kondisi rumah secara fisik
semakin terlihat acak-acakan.
Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan,
terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah,
keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan yang kurang memadai.
Kondisi kualitas kehidupan yang serba marjinal ini ternyata mengakibatkan
semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Hal ini dapat
diketahui dari tatacara kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi,
mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang
ini karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian
dan kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa
impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dan
ternyata tidak dapat memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kamampuan untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa
modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota.
Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan semakin memprihatinkan itu mendorong
para pendatang tersebut untuk hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang
tidak memenuhi syarat kesehatan.
Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti
pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota.
Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan
berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian
utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah atau hanya
sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup, dan bahkan
tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga tanggungjawab
terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan, solidaritas
sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari
golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak
sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat rentan
terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan, baik
antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan sekitanya.
Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan teknologi
dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut membuka celah
timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para penghuni pemukiman
kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang ini juga diperkuat
oleh pola kehidupan kota yang lebih mementingkan diri sendiri atau kelompokya
yang acapkali bertentangan dengan nilai-nilai moral dan norma-norma sosial
dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman
kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial, tradisi dan
kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat.
Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak
disiplin lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat.
Kecuali itu, juga termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan
menghindar dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan
kegiatan sosial lainnya (Sri Soewasti Susanto, 1974 dalam Diah Novitasari,
2010). Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya
berupa mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di
depan umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan
musik keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan
lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah
kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan,
penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan
pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Keadaan seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru
yang menyangkut (Sri Soewasti Susanto, 1974 dalam Diah Novitasari, 2010) : (a)
masalah persediaan ruang yang semakin terbatas terutama masalah permukiman
untuk golongan ekonomi lemah dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di
daerah perkotaan sebagai salah satu faktor penyebab timbulnya perilaku
menyimpang, (b) masalah adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di
perkotaan dan adaptasi penduduk desa di kota, (c) masalah perilaku menyimpang
sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma pada masyarakat
migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan
lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya
pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal
perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya permukiman kumuh ini,
khususnya dikota-kota besar diantaranya wajah perkotaan menjadi memburuk dan
kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular
dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Disisi lain bahwa kehidupan
penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial kehidupan mereka
yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan. Secara umum permasalahan
yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah (Sri Soewasti Susanto,
1974 dalam Diah Novitasari, 2010):
- ukuran
bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak
huni
- rumah
yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan
bahaya kebakaran
- sarana
jalan yang sempit dan tidak memadai
- tidak
tersedianya jaringan drainase
- kurangnya
suplai air bersih
- jaringan
listrik yang semrawut
- fasilitas
MCK yang tidak memadai
2. Mengatasi Permukiman Kumuh
Kemiskinan
merupakan salah satu penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan.
Pada dasarnya kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan
kelompok miskin serta peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan
pengembangan institusi penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar
ini dapat diwujudkan dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta
usaha perbaikan perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya. Menurut Cities
Alliance (lembaga internasional yang menangani hibah, pengetahuan dan
advokasi untuk kepentingan peningkatan permukiman kumuh di dunia) dalam Lana
Winayanti (2011) ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk
mencegah pertumbuhan permukiman kumuh baru yaitu:
- Kepastian
bermukim (Secure Tenure).Hak atas tanah adalah hak
individu atau kelompok untuk menghuni atau menggunakan sebidang tanah. Hak
atas tanah dapat berupa hak milik atau hak sewa. Kejelasan hak atas tanah
memberikan keyakinan akan masa depan – rasa aman karena kejelasan hak
(sewa ataupun milik) akan meningkatkan kestabilan jangka panjang dan
mengakibatkan penghuni berkeinginan berinvestasi untuk peningkatan
kualitas rumah dan lingkungan mereka. Perbaikan secara bertahap oleh
masyarakat dapat meningkatkan kualitas komunitas. Perlu ada kerangka kerja
yang jelas tentang kepastian bermukim. Seringkali masyarakat permukiman
kumuh menghadapi berbagai hambatan untuk memiliki atau memperoleh kejelasan
hak atas tanah dan hak atas hunian yang layak. Pasar tanah pada umumnya
agak disfungsional dan peraturan yang ada menyulitkan pemerintah daerah
untuk mencari tanah terjangkau dan berada di lokasi yang strategis bagi
penghuni permukiman kumuh yang padat. Pengendalian tanah seringkali
terkait dengan kekuatan politik dan korupsi, sehingga menyulitkan
memperoleh informasi tentang penguasaan dan kepemilikan tanah, penggunaan
dan ketersediaan tanah.
- Mendapatkan
hak segabai warga kota. Masyarakat yang tinggal di
permukiman kumuh adalah bagian dari penduduk perkotaan, dan seharusnya
mempunyai hak yang sama atas kesehatan dan pelayanan dasar kota. Hak ini
seringkali dibatasi oleh kemampuan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan
dasar ini. Proses merealisasi hak penghuni permukiman kumuh tergantung
pada kapasitas mereka untuk berinteraksi dengan pemerintah. Salah satu
kunci adalah menciptakan ‘ruang’ dimana masyarakat permukiman kumuh dan
pemerintah dapat saling berdialog tentang peluang-peluang meningkatkan
komunitas permukiman kumuh. Melalui dialog, setiap pihak dapat meletakkan
hak dan tanggung jawab, serta merancang program peningkatan permukiman
kumuh yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Apabila proses
ini tidak dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, maka akan sulit program
ini berhasil.
Pemerintah juga telah membentuk institusi yaitu Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas
diuraikan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002
tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi
tersebut tercermin dalam struktur organisasi, proses pelaksanaan perencanaan
pembangunan nasional, serta komposisi sumber daya manusia dan latar belakang
pendidikannya. Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh
Sekretariat Utama, Staf Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang
masing-masing membidangi bidang-bidang tertentu. Yang di usahakan adalah:
perkembangan ekonomi makro, pembangunan ekonomi, pembangunan prasarana,
pembangunan sumber daya manusia, pembangunan regional dan sumber daya alam,
pembangunan hukum, penerangan, politik, hankam dan administrasi negara, kerja
sama luar negeri, pembiayaan dalam bidang pembangunan, pusat data dan informasi
perencanaan pembangunan, pusat pembinaan pendidikan dan pelatihan perencanaan
pembangunan (pusbindiklatren), program pembangunan nasional (propenas), badan
koordinasi tata ruang nasional, landasan/acuan/dokumen pembangunan nasional,
hubungan eksternal.
Warga kumuh kerap digusur, tanpa adanya solusi bagi mereka
selanjutnya. Seharusnya, pemerintah bisa mengakomodasi hal ini dengan melakukan
relokasi ke kawasan khusus. Dengan penyediaan lahan khusus tersebut, pemerintah
bisa membangun suatu kawasan tempat tinggal terpadu berbentuk vertikal (rumah
susun) yang ramah lingkungan untuk disewakan kepada mereka. Namun, pembangunan
rusun tersebut juga harus dilengkapi sarana pendukung lainnya, seperti sekolah,
tempat ibadah, dan pasar yang bisa diakses hanya dengan berjalan kaki, tanpa
harus menggunakan kendaraan. Bangunan harus berbentuk vertikal (rusun) agar
tidak menghabiskan banyak lahan. Sisanya, harus disediakan pula lahan untuk
ruang terbuka hijau, sehingga masyarakat tetap menikmati lingkungan yang sehat.
Dalam hal ini masyarakat harus turut serta untuk menanam dan memelihara
lingkungan hijau tersebut.
Pemerintah dapat menerapkan program rekayasa sosial, di mana
tidak hanya menyediakan pembangunan secara fisik, tetapi juga penyediaan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat, sehingga mereka dapat belajar survive.
Perlu dukungan penciptaan pekerjaan yang bisa membantu mereka survive, misalnya
dengan pemberdayaan lingkungan setempat yang membantu mereka untuk mendapatkan
penghasilan, sehingga mereka memiliki uang untuk kebutuhan hidup.
Masyarakat harus ikut dilibatkan dalam mengatasi permukiman
kumuh di perkotaan. Karena orang yang tinggal di kawasan kumuhlah yang tahu
benar apa yang menjadi masalah, termasuk solusinya. Jika masyarakat dilibatkan,
persoalan mengenai permukiman kumuh bisa segera diselesaikan. Melalui
kontribusi masukan dari masyarakat maka akan diketahui secara persis instrumen
dan kebijakan yang paling tepat dan dibutuhkan dalam mengatasi permukiman
kumuh. Dalam mengatasi permukiman kumuh tetap harus ada intervensi dari negara,
terutama untuk menilai program yang disampaikan masyarakat sudah sesuai sasaran
atau harus ada perbaikan. Permukiman kumuh tidak dapat diatasi dengan
pembangunan fisik semata-mata tetapi yang lebih penting mengubah prilaku dan
budaya dari masyarakat di kawasan kumuh. Jadi masyarakat juga harus menjaga
lingkungannya agar tetap bersih, rapi, tertur dan indah. Sehingga akan tercipta
lingkungan yang nyaman, tertip, dan asri.
KESIMPULAN
Tumbuhnya permukiman kumuh adalah akibat dari
ledakan penduduk di kota-kota besar, baik karena urbanisasi maupun karena
kelahiran yang tidak terkendali. Lebih lanjut, hal ini mengakibatkan
ketidakseimbangan antara pertambahan penduduk dengan kemampuan pemerintah untuk
menyediakan permukiman-permukiman baru, sehingga para pendatang akan mencari
alternatif tinggal di permukiman kumuh untuk mempertahankan kehidupan di kota.
Terbentuknya pemukiman kumuh dipandang potensial menimbulkan banyak masalah
perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku
menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Pemerintah selain memberikan rumah susun juga harus memberikan
lapangan pekerjaan bagi mereka yang belum punya pekerjaan. Dan masyarakat harus
selalu menjaga lingkungannya agar tetap indah, bersih, dan teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Hari Srinivas. 2003,
Defining Squatter Settlement, http://www.gdrc.org/ uem/define- squatter.dikases pada tanggal 22 Juli 2012.
Keputusan Presiden
Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja Kantor Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. http://old.bappenas.go.id/index.php?module=ContentExpress&func=viewcat&ceid=-2&catid=4, dikases pada tanggal 28 Juli 2012.
Khomarudin. 1997.
Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman, Jakarta: Yayasan Real Estate
Indonesia, PT. Rakasindo, Jakarta.
Novitasari , Diah.2010.
Pemukiman Kumuh di Pinggiran Kota. http://fisip.uns.ac.id/blog/diah/2011/01/03/bab-ii-pemukiman-kumuh/
, diakses pada tanggal 28 Juli 2012.
Rindarjono, Mohammad
Gamal . 2010. Perkembangan Permukiman Kumuh di kota Semarang Tahun 1980-2006.http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1467_RD1005003.pdf, diakses pada tanggal 25 Juli 2012.
Winayanti, Lana. 2011.
Menuju Kota Bebas Kumuh. http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/edisi3e.pdf,
diakses pada tanggal 28 Juli 2012.